Kamis, 24 Juni 2010

Rizki Berkah

KEIMANAN dan ketakwaan yang ada pada diri seseorang harus senantiasa disyukuri. Pasalnya, iman dan takwa ibarat daun pintu untuk membuka rezeki yang berkah dari Allah SWT, bukannya rezeki yang dilaknat Allah SWT.
Ada baiknya setiap muslim senantiasa merenungkan salah satu ayat dalam Alquran surat Al-Araf ayat 96, "Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka akibat perbuatannya."
Adapun salah satu syarat keimanan dan ketakwaan seseorang disebutkan oleh Ibnu Katsir, yakni hatinya beriman. Kemudian membenarkan dan mengikuti apa yang dibawa Rasulullah, bertakwa dengan melaksanakan ketaatan serta meninggalkan perbuatan yang dilarang Allah SWT. Sedangkan buah iman bagi kaum mukmin, yakni menjaga diri dari dosa, ancaman siksa, bahaya, dan membuka pintu rezeki.
Firman Allah dalam surat Ath-Thalaq ayat 2-3, "Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)."
Adapun syarat kedua adalah iman yang membuahkan tobat dan istigfar serta yang akan menebar rezeki. Amiril Mukminin Umar mengatakan, dalam memohon rezeki hanya dengan istigfar, Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang memperbanyak istigfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar, untuk setiap kesempitannya kelapangan, dan Allah akan memberikan rezeki (yang halal) dari arah yang tidak disangka-sangka" (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah).
Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah memberikan contoh tentang bertawakal sebagai berikut, "Sungguh seandainya kalian bertawakal kepada Allah sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezeki burung-burung. Mereka berangkat pergi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang" (.HR. Timidzi).

Sebuah Koin Penyok

Alkisah, seorang lelaki keluar dari pekarangan rumahnya, berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Sudah cukup lama ia menganggur. Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Sementara para tetangganya sibuk memenuhi rumah dengan barang-barang mewah, ia masih bergelut memikirkan cara memenuhi kebutuhan pokok keluarganya sandang dan pangan.

Anak-anaknya sudah lama tak dibelikan pakaian, istrinya sering marah-marah karena tak dapat membeli barang-barang rumah tangga yang layak. Laki-laki itu sudah tak tahan dengan kondisi ini, dan ia tidak yakin bahwa perjalanannya kali inipun akan membawa keberuntungan, yakni mendapatkan pekerjaan.


Ketika laki-laki itu tengah menyusuri jalanan sepi, tiba-tiba kakinya

terantuk sesuatu. Karena merasa penasaran ia membungkuk dan mengambilnya.
“Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok-penyok,” gerutunya kecewa. Meskipun begitu ia membawa koin itu ke sebuah bank.

“Sebaiknya koin in Bapak bawa saja ke kolektor uang kuno,” kata teller itu memberi saran. Lelaki itupun mengikuti anjuran si teller, membawa koinnya kekolektor. Beruntung sekali, si kolektor menghargai koin itu senilai 30 dollar.


Begitu senangnya, lelaki tersebut mulai memikirkan apa yang akan dia lakukan dengan rejeki nomplok ini. Ketika melewati sebuah toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu sedang diobral. Dia bisa membuatkan beberapa rak untuk istrinya karena istrinya pernah berkata mereka tak punya tempat untuk menyimpan jambangan dan stoples. Sesudah membeli kayu seharga 30 dollar, dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.


Di tengah perjalanan dia melewati bengkel seorang pembuat mebel. Mata

pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu yang dipanggul lelaki itu.
Kayunya indah, warnanya bagus, dan mutunya terkenal. Kebetulan pada waktu itu ada pesanan mebel. Dia menawarkan uang sejumlah 100 dollar kepada lelaki itu.
Terlihat ragu-ragu di mata laki-laki itu, namun pengrajin itu meyakinkannya dan dapat menawarkannya mebel yang sudah jadi agar dipilih lelaki itu. Kebetulan di sana ada lemari yang pasti disukai istrinya. Dia menukar kayu tersebut dan meminjam sebuah gerobak untuk membawa lemari itu. Dia pun segera membawanya pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati perumahan baru. Seorang wanita yang sedang mendekorasi rumah barunya melongok keluar jendela dan melihat lelaki itu mendorong gerobak berisi lemari yang indah. Si wanita terpikat dan menawar dengan harga 200 dollar. Ketika lelaki itu nampak ragu-ragu, si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju. Kemudian mengembalikan gerobak ke pengrajin dan beranjak pulang.


Di pintu desa dia berhenti sejenak dan ingin memastikan uang yang ia terima. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Pada saat itu seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur.


Istri si lelaki kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya berkata, “Apa yang terjadi? Engkau baik saja kan? Apa yang diambil oleh perampok tadi?”


Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, “Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi”.


Bila Kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan?

Kisah Garam dan Telaga

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Pemuda itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia. Pemuda itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak mendengarkan dengan seksama. Beliau lalu mengambil segenggam garam dan segelas air. Dimasukkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduk perlahan. "Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya, "ujar Pak tua itu.

"Asin. Asin sekali, "jawab sang tamu, sambil meludah kesamping. Pak Tua tersenyum kecil mendengar jawaban itu. Beliau lalu mengajak sang pemuda ke tepi telaga di dekat tempat tinggal Beliau. Sesampai di tepi telaga, Pak Tua menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, diaduknya air telaga itu. "Coba, ambil air dari telaga ini dan minumlah." Saat pemuda itu selesai mereguk air itu, Beliau bertanya, "Bagaimana rasanya?" "Segar," sahut sang pemuda. "Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?" tanya Beliau lagi. "Tidak," jawab si anak muda.

Dengan lembut Pak Tua menepuk-nepuk punggung si anak muda. "Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam tadi, tak lebih dan tak kurang. Jumlah garam yang kutaburkan sama, tetapi rasa air yang kau rasakan berbeda. Demikian pula kepahitan akan kegagalan yang kita rasakan dalam hidup ini, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu."

Beliau melanjutkan nasehatnya. "Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."

/* Untuk mengejar kesuksesan, terkadang kita akan mengalami kepahitan. Kesuksesan yang kita impikan tidak akan datang pada kita bila kita terus menerus hidup dalam kepahitan dan tidak melapangkan hati. Lapangkanlah hati kita, terima kepahitan, dan terus kejar kesuksesan

Santun Terhadap Orang Yang Lebih Tua

Nabi yang mulia, Muhammad Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah melingkupi Islam dengan akhlak yang mulia dan perbuatan baik”. Menurut Imam Al Ghazali di antara perbuatan baik adalah: pergaulan yang baik, perbuatan yang mulia, perkataan yang lembut, mendermakan kebaikan, memberi makan, menyebarkan salam, mengunjungi orang yang sakit, mengantarkan jenazah orang Muslim, menghormati orangtua, mendamaikan di antara manusia, memenuhi undangan, bertetangga dengan baik, bermurah hati, memulai salam, menahan marah dan memaafkan kesalahan.


Sahabat, dari sederet perbuatan baik yang diuraikan tadi, adakah kita telah mengamalkannya barang satu atau dua dengan sungguh-sungguh? Misalnya saja menghormati orangtua.

Menghormati orangtua, tentu bukan hanya orangtua kita di rumah, tetapi juga orangtua yang kita temui di tempat-tempat umum. Sudahkah kita mengikhlaskan tempat duduk kita di atas kendaraan umum yang penuh sesak untuk mereka? Sudahkah kita membantu mereka menyeberangi jalan di tempat yang benar? Sudahkah kita berkata dengan lemah lembut pada mereka dan mendahulukan mereka dari pada kepentingan kita?


Pada suatu hari Ali bin Abu Thalib pernah terlambat shalat jamaah, dan ketika Rasulullah bertanya,”Mengapa engkau terlambat, hai Ali?” Ali menjawab, “Maaf ya Rasulullah, di depanku tadi ada seorang tua yang berjalan tertatih-tatih, aku tidak mau mendahuluinya, karena bukankah engkau meneladani kami untuk menghormati orangtua?”

Cerita Siswi Palestina

Ini adalah kisah tentang seorang siswi di sebuah sekolah putri di Palestina. Hari itu dewan sekolah berkumpul seperti biasanya. Di antara keputusan dan rekomendasi yang dikeluarkan dewan dalam pertemuan ini adalah pemeriksaan mendadak bagi siswi di dalam aula. Dan benar, dibentuklah tim khusus untuk melakukan pemeriksaan dan mulai bekerja. Sudah barang tentu, pemeriksaan dilakukan terhadap segala hal yang dilarang masuk di lingkungan sekolah seperti hand phone berkamera, foto-foto, gambar-gambar dan surat-surat cinta serta yang lainnya.



Keamanan saat itu nampak normal dan stabil, kondisinya sangat tenang. Para siswi menerima perintah ini dengan senang hati. Mulailah tim pemeriksa menjelajah semua ruangan dan aula dengan penuh percaya diri. Keluar dari satu ruangan masuk ke ruangan lainnya. Membuka tas-tas para siswi di depan mereka. Semua tas kosong kecuali berisi buku-buku, pena dan peralatan kebutuhan kuliah lainnya. Hingga akhirnya pemeriksaan selesai di seluruh ruangan kecuali satu ruangan. Di situlah bermula kejadian. Apakah sebenarnya yang terjadi ???


Tim pemeriksa masuk ke ruangan ini dengan penuh percaya seperti biasanya. Tim meminta izin kepada para siswi untuk memeriksa tas-tas mereka. Dimulailah pemeriksaan.


Saat itu di ujung ruangan ada seorang siswi yang tengah duduk. Dia memandang kepada tim pemeriksa dengan pandangan terpecah dan mata nanar, sedang tangannya memegang erat tasnya. Pandangannya semakin tajam setiap giliran pemeriksaan semakin dekat pada dirinya. Tahukah anda, apakah yang dia sembunyikan di dalam tasnya ???


Beberapa saat kemudian tim pemeriksa memeriksa siswi yang ada di depannya. Dia pun memegang sangat erat tasnya. Seakan dia mengatakan, demi Allah mereka tidak akan membuka tas saya. Dan tiba lah giliran pemeriksaan pada dirinya. Dimulailah pemeriksaan.


Tolong buka tasnya anakku, kata seorang guru anggota tim pemeriksa. Siswi itu tidak langsung membuka tasnya. Dia melihat wanita yang ada di depannya dalam diam sambil mendekap tas ke dadanya. Barikan tasmu, wahai anakku, kata pemeriksa itu dengan lembut. Namun tiba-tiba dia berteriak keras: tidak tidak tidak


Teriakan itu memancing para pemeriksa lainnya dan merekapun berkumpul di sekitar siswi tersebut. Terjadilah debat sengit: berikan tidak berikan tidak


Adakah rahasia yang dia sembunyikan? ?? Dan apa yang sebenarnya terjadi???


Maka terjadilah adegan pertarungan tangan untuk memperebutkan tas yang masih tetap berada dalam blockade pemiliknya. Para siswi pun terhenyak dan semua mata terbelalak. Seorang dosen wanita berdiri dan tangannya diletakan di mulutnya. Ruangan tiba-tiba sunyi. Semua terdiam. Ya Ilahi, apakah sebenarnya yang ada di dalam tas tersebut. Apakah benar bahwa si Fulanah (siswi) tersebut .


Setelah dilakukan musyawarah akhirnya tim pemeriksa sepakat untuk membawa sang siswi dan tasnya ke kantor, guna melanjutkan pemeriksaan yang barang kali membutuhkan waktu lama


Siswi tadi masuk kantor sedang air matanya bercucuran bagai hujan. Matanya memandang ke arah semua yang hadir di ruangan itu dengan tatapan penuh benci dan marah. Karena mereka akan mengungkap rahasia dirinya di hadapan orang banyak. Ketua tim pemeriksa memerintahkannya duduk dan menenangkan situasi. Dia pun mulai tenang. Dan kepala sekolah pun bertanya, apa yang kau sembunyikan di dalam tas wahai anakku ?


Di sini, dalam saat-saat yang pahit dan sulit, dia membuka tasnya. Ya Ilahi, apakah gerangan yang ada di dalamnya??? Bukan. Bukan. Tidak ada sesuatu pun yang dilarang ada di dalam tasnya. Tidak ada benda-benda haram, hand phone berkamera, gambar dan foto-foto atau surat cinta. Demi Allah, tidak ada apa-apa di dalamnya kecuali sisa makanan (roti). Ya, itulah yang ada di dalam tasnya.


Setelah ditanya tentang sisa makanan yang ada di dalam tasnya, dia menjawab, setelah menarik nafas panjang.


Ini adalah sisa-sisa roti makan pagi
para siswi, yang masih tersisa separoh atau seperempatnya di dalam bungkusnya. Kemudian saya kumpulkan dan saya makan sebagiannya. Sisanya saya bawa pulang untuk keluarga saya di rumah Ya, untuk ibu dan saudara-saudara saya di rumah. Agar mereka memiliki sesuatu yang bisa disantap untuk makan siang dan makan malam. Kami adalah keluarga miskin, tidak memiliki siapa-siapa. Kami bukan siapa-siapa dan memang tidak ada yang bertanya tentang kami. Alasan saya untuk tidak membuka tas, agar saya tidak malu di hadapan teman-teman di ruangan tadi.

Tiba-tiba suara tangis meledak ruangan tersebu. Mata semua yang hadir bercucuran air mata sebagai tanda penyesalan atas perlakukan buruk pada siswi tersebut.


Ini adalah satu dari sekian banyak peristiwa kemanusiaan yang memilukan di
Palestina. Dan sangat mungkin juga terjadi di sekitar kehidupan kita. Kita tidak tahu, barang kali selama ini kita tidak peduli dengan mereka. Doa dan uluran tangan kita, setidaknya bisa sedikit meringankan penderitaan mereka. Khususnya saudara-saudara kita di Palestina yang hingga kini terus dilanda tragedi kemanusiaan akibat penjajahan Zionis Israel . (infopalestina)

Energi Suara Hati

Bila dicermati, kisah-kisah sukses para pebisnis kelas dunia memperlihatkan suatu kesamaan: terasahnya kecerdasan spiritual menjadi sumber kekuatan luar biasa penggerak bisnis mereka. Perlu ditekankan di sini bahwa spiritualitas, sebagaimana diperkenalkan dalam pelatihan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) 165, tidak mesti berkaitan langsung dengan agama. Kecerdasan spiritual itu dipandang sebagai potensi yang secara universal dimiliki oleh setiap manusia.

Dalam ESQ Model, yang bersumber pada konsep Satu Ihsan, Enam Rukun Iman, dan Lima Rukun Islam (165), potensi kecerdasan spiritual itu diyakini sebagai pantulan sifat-sifat unggul yang terpancar dari Nama-Nama Allah SWT (Asmaul Husna). Potensi itu terpantul melalui ruh yang ditiupkan pada setiap manusia. Tugas manusialah untuk mengasahnya agar teraktualisasi menjadi
energi. ESQ Model adalah sebuah ikhtiar untuk menguraikan dan mengasah potensi-potensi itu, dengan mengidentifikasi tujuh dari 99 Asmaul Husna. Ketujuh potensi atau suara hati, yang kami sebut Tujuh Budi Utama (Jujur, Tanggungjawab, Visioner, Disiplin, Kerjasama, Adil, dan Peduli) itu menjadi pijakan awal untuk mengenali jati diri; betapa manusia sesungguhnya memiliki potensi yang kaya.

Simaklah bagaimana
kisah Infosys Technologies yang dibangun Narayana Murthy bersama enam rekannya, dari modal uang tabungan 10.000 rupee (US$ 250) pada 1981 menjadi imperium bisnis berpendapatan US$ 3 miliar (2007). Ini tidak akan terjadi andai pada musim dingin 1990 mereka takluk dalam suramnya iklim bisnis, lalu puas dengan tawaran pembeli sebesar US$ 1 juta. Murthy berhasil meyakinkan rekan-rekannya bahwa bisnis mereka bernilai lebih dari sekadar uang. Sikap saling percaya dan kerjasama yang mereka bangun dalam satu visi yang sangat kuat adalah bentuk aktualisasi diri dan ajang untuk menghasilkan karya yang tidak hanya untuk dinikmati sendiri, tapi juga oleh sesama. Itu sebabnya, Murthy dan kawan-kawan peduli pada kepentingan 75.000 karyawan, memberi mereka hak membeli saham (stock option).

Kerja keras Lee Byung-chul dalam membesarkan gurita bisnis Samsung Group pun mengajarkan tentang kemenangan suara hati. Lee, yang wafat pada 19 November 1987, tidak semata-mata mewariskan perusahaan raksasa global di bidang elektronik dan semikonduktor, melainkan juga (yang lebih penting) kultur korporat yang tahan segala cuaca. Menurut Presiden dan CEO Samsung Electronics, Dr. Hwang Chang-gyu, Lee mewariskan filosofi yang menekankan inovasi sebagai nyawa perusahaan. Ketika satu tujuan tercapai, itu berarti awal menetapkan tujuan baru. Orang-orang Samsung diibaratkannya seperti kaum nomad, yang terus mengembara mencari temuan-temuan baru. Semua itu membutuhkan visi yang kuat, pengabdian (tanggungjawab) pada misi, kedisiplinan, kerapihan kerjasama, dan seterusnya.


Imperium otomotif legendaris Jepang, Honda, tumbuh dengan filosofi Soichiro Honda, seorang pebisnis yang merangkak dari bawah, melalui badai demi badai kegagalan. Menghormati Individu dan Tiga Kebahagiaan, demikian rumusan filosofi yang diuraikan dalam misi dan visi korporat Honda Motor Company. Menghormati Individu berarti yakin akan kemampuan unik manusia, dan menentukan hubungan perusahaan dengan rekanan, pelanggan, penyalur dan masyarakat. Honda meyakini bahwa setiap orang yang terlibat dalam proses pembelian, penjualan atau menciptakan produk harus menerima perasaan bahagia dari pengalaman. Tiga kebahagiaan yang dimaksud itu adalah, kebahagiaan memproduksi, kebahagiaan menjual, dan kebahagiaan membeli. Itu artinya, kebahagiaan yang diharapkan ada pada diri setiap orang Honda bukan semata-mata kebahagiaan mendapatkan sesuatu, tapi juga (dan yang terpenting) kebahagiaan memberikan sesuatu yang terbaik.


Dari situ lahir komitmen dan pengabdian yang tak bisa ditukar atau dikompromikan dengan apapun. Inilah yang dinamakan komitmen spiritual. Seseorang melakukan suatu pekerjaan tidak semata-mata karena mengharapkan imbalan (komitmen intelektual/material), karena ikatan, hubungan atau dorongan emosi tertentu (komitmen emosional), tapi dia melakukannya demi kebahagiaan mengerjakan sesuatu dan memberikan sesuatu.


Bagi kalangan bisnis, tuntutan akan komitmen semacam itu tidak hanya muncul dari kebutuhan internal. Di Barat, kini bergulir suatu kecenderungan menguatnya kesadaran konsumen. Patricia Aburdene, dalam buku Megatrends 2010: The Rise of Conscious Capitalism, mengutip laporan The New York Times bahwa sampai tahun 2000, pasar untuk values-driven commerce (perdagangan yang dikendalikan nilai), telah mencapai US$ 230 miliar. Angka itu terus tumbuh dua digit setiap tahun. Ceruk pasar yang dirujuk dalam laporan itu adalah masyarakat konsumen dengan kesadaran memilih produsen atau perusahaan yang memerhatikan tanggungjawabnya pada kepentingan stakeholder, termasuk konsumen dan lingkungan.


Majalah Fortune pada Oktober 2006 mencatat, sekitar satu dari setiap 10 dolar aset di bawah manajemen investasi di Amerika Serikat (US$ 2,3 triliun dari US$ 24 triliun) diinvestasikan ke perusahaan-perusahaan yang tinggi tingkat tanggungjawab sosialnya. Ini ditafsirkan sebagai isyarat bahwa perusahaan-perusahaan yang bertanggungjawab secara sosial akan mengungguli perusahaan yang tidak. Secara terpisah, indikasi itu telah muncul dalam edisi Maret/April 2002 majalah Business Ethics: perusahaan yang masuk daftar "100 Best Corporate Citizens" secara keseluruhan memiliki kinerja di atas perusahaan-perusahaan lain dalam daftar S&P 500.


Maka, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa, secara alamiah, mau tidak mau praktik bisnis akan selalu tergiring untuk kembali kepada nilai-nilai dasar universal, kepada suara hati manusia.


(Cuplikan buku "Spiritual Company, Kecerdasan Spiritual Pembawa Sukses Kampiun Bisnis Dunia"
oleh Ary Ginanjar Agustian)


Kebiasaan Menunda

"Nanti dulu, ah..." atau “Masih ada waktu, khan?“ mungkin merupakan dua kalimat yang sering kita lontarkan. Karena apa? Karena kita ingin menunda-nunda pekerjaan. Entah itu belajar, menunda kebiasaan untuk berhenti merokok, menunda pekerjaan ataupun menunda waktu shalat. Padahal bila telepon genggam kita berdering, kita langsung saja menyambarnya, “Hallo...” Astaghfirullah.

Menunda-nunda
memang seperti wabah demam. Siapa yang tidak tahu buruknya menunda, namun siapa pula yang tak pernah menunda-nunda? Anda dan juga saya sekali waktu pasti pernah melakukannya. Bener nggak?


Sahabat, tentu Anda pernah mendengar bahwa ‘waktu ibarat pedang’. Kalau kita tidak pandai memanfaatkannya, jadilah dia musuh kita, mendzolimi kita. Namun sebaliknya, bila kita pandai memanfaatkannya, dia adalah sahabat yang baik.


Kalau orang Barat bilang, ‘time is money’. Waktu itu berharga lho!
Allah SWT juga telah mengingatkan kita seperti tercantum dalam surah Alam Nasyrah ayat 7: "Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain."

Kitalah Yang Menciptakan Masalah

Masalah rumah tangga memang tidak pernah habis di kupas, baik di media cetak, radio, layar kaca, maupun di ruang-ruang konsultasi. “Dari soal pelecehan seksual, selingkuh, istri dimadu, sampai suami yang tidak memenuhi kebutuhan biologis istri.” Ujar seorang konsultan spiritual di Jakarta.

Kebetulan, teman dekatnya punya masalah. Ceritanya, seiring dengan pertambahan usia, plus karir istri yang menanjak, kehidupa perkawinannya malah mengarah adem. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Keakraban dan keceriaan yang dulu dipunya keluarga ini hilang sudah. Si istri seolah disibukkan urusan kantor.

‘Apa yang harus aku lakukan,” ungkapan pria ini. Konsultasi spiritual itu menyarankan agar dia berpuasa tiga hari, dan tiap malam wajib shalat tahajud dan sujud shalat syukur. “Coba lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, Insya Allah masalahanya terang. Setelah itu, kamu ajak omong istrimu di rumah.” Ia menyarankan.

Oke. Sebuah saran yang mudah dipenuhi. Tiga hari kemudian, dia mengontak istrinya. “Bagaimana kalau malam ini kita makan di restoran,” katanya. Istriny tidak keberatan. Makanan istimewa pun dipesan, sebagai penebus kehambaran rumah tangganya.

Benar saja. Di restoran itu, istrinya mengaku terus terang telah menduakan cintanya. Ia punya teman laki-laki untuk mencurahkan isi hati. Suaminya kaget. Mukanya seakan ditampar. Makanan lezat di depanya tidak di sentuh. Mulutnya seakan terkunci, tapi hatinya bergemuruh tak sudi menerima pengakuan dosa” itu.

Pantas saja dia selalu beralasan capek, malas, atau tidak bergairah jika disentuh. Pantas saja, suatu malam istrinya pura-pura tidur sembari mendekap handphone, padahal alat itu masih menampakkan sinyal—pertanda habis dipakai berhubungan dengan seseorang. Itu pula, yang antara lain melahirkan kebohongan demi kebohongan.

Tanpa diduga, keterusterangan itu telah mencabik-cabik hati pria ini. Keterusterangan itu justru membuahkan sakit hati yang dalam. Atau bahkan, lebih pahit dari itu. Hti pria ini seakan menuntut, “Kalau saja aku tidak menuntut nasihatmu, tentu masalahnya tidak separah ini.”

Si konsultan yang dituding, “Ikut menjebloskan dalam duka.” Meng-kick balik. “Bukankah sudah saya sarankan agar mengajak istrimu ngomong di rumah, bukan di restoran?” Buat orang awam, restoran dan rumah sekedar tempat. Tidak lebih. Tapi, dimata si paranormal, tempat membawa “takdir”tersendiri.

Dan itulah yang terjadi. Keterusterangan itu tak bisa dihapus. Ia telah mencatatkan sejarah tersendiri. Maka jalan terbaik menyikapinya adalah seperti dikatakan orang bijak, “Jangan membiasakan diri melihat kebenaran dari satu sisi saja.”

Kayu telah menjadi arang. Kita tidak boleh melarikan diri dari kenyataan, sekalipun pahit. Kepalsuan dan kebohongan tadi bisa jadi merupakan bagian dari perilaku kita jua. “Kita selalu lupa bahwa kita bertanggung jawab penuh atas diri kita sendiri. Kita yang menciptakan masalah, kita pula yang harus meyelesaikannya.” Kata orang bijak.

Pahit getir, manis asam, asin hambar, itu sebuah resiko. Memang kiat hidup itu tak lain adalah piawai dan bijak dalam memprioritaskan pilihan.

Melawan Diri Sendiri

Kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain. Namun, kemenangan atas diri sendiri. Berpacu di jalur keberhasilan diri adalah pertandingan untuk mengalahkan rasa ketakutan, keengganan, keangkuhan, dan semua beban yang menambat diri di tempat start.

Jerih payah untuk mengalahkan orang lain sama sekali tak berguna. Motivasi tak semestinya lahir dari rasa iri, dengki atau dendam. Keberhasilan sejati memberikan kebahagiaan yang sejati, yang tak mungkin diraih lewat niat yang ternoda.

Pelari yang berlari untuk mengalahkan pelari yang lain, akan tertinggal karena sibuk mengintip laju lawan-lawannya. Pelari yang berlari untuk memecahkan recordnya sendiri tak peduli apakah pelari lain akan menyusulnya atau tidak. Tak peduli dimana dan siapa lawan-lawannya. Ia mencurahkan seluruh perhatian demi perbaikan catatannya sendiri.

Ia bertading dengan dirinya sendiri, bukan melawan orang lain. Karenanya, ia tak perlu bermain curang. Keinginan untuk mengalahkan orang lain adalah awal dari kekalahan diri sendiri.

Janganlah Memaksa

Seorang kakek sedang berjalan-jalan sambil menggandeng cucunya di jalan pinggiran pedesaan. Mereka menemukan seekor kura-kura. Anak itu mengambilnya dan mengamat-amatinya. Kura-kura itu segera menarik kakinya dan kepalanya masuk di bawah tempurungnya. Si anak mencoba membukanya secara paksa.

“Cara demikian tidak pernah akan berhasil, nak!” kata kakek, “Saya akan mencoba mengajarimu.”

Mereka pulang. Sang Kakek meletakkan kura-kura di dekat perapian. Beberapa menit kemudian, kura-kura itu mengeluarkan kakinya dan kepalanya sedikit demi sedikit. Ia mulai merangkak bergerak mendekati si anak.

“Janganlah mencoba memaksa melakukan segala seuatu, nak!” nasihat kakek, “Berilah kehangatan dan keramahan, ia akan menanggapinya.”

Sekali Lagi, Bersyukurlah!

Coba anda sisihkan waktu sejenak untuk bersyukur atas hal-hal baik dalam hidup anda. Renungkan tentang apa yang telah anda capai, orang-orang yang memperhatikan anda, pengalaman yang telah anda dapatkan, keahlian dan minat yang anda miliki; apa yang anda percayai, dan hal-hal yang terindah dalam hidup anda.

Hal-hal yang anda hargai, pelihara, dan jaga akan terus meningkat dalam hidup anda. Kelimpahan dimulai dengan dengan rasa syukur. Dengan rasa syukur yang tulus, anda menghargai apa yang telah anda miliki, yang selanjutnya akan mendorong anda secara mental, spiritual, dan fisik untuk mencapai apa saja yang menjadi tujuan anda.

Bagaimana mungkin anda mendapatkan hal-hal yang lebih besar, bila anda tidak bersyukur atas apa yang telah anda miliki saat ini? Toh semuanya, hanya bisa dimulai dengan apa yang anda telah miliki tersebut.
Anda tahu, bahwa anda dapat mencapai tujuan, karena anda pernah merintis hal seperti itu. Pengalaman adalah milik anda yang patut disyukuri. Siapa bilang tidak ada hal yang bisa disyukuri?

Segalanya dalam jangkauan anda saat anda bersyukur akan apa yang telah anda dapatkan.