Kamis, 24 Juni 2010

Energi Suara Hati

Bila dicermati, kisah-kisah sukses para pebisnis kelas dunia memperlihatkan suatu kesamaan: terasahnya kecerdasan spiritual menjadi sumber kekuatan luar biasa penggerak bisnis mereka. Perlu ditekankan di sini bahwa spiritualitas, sebagaimana diperkenalkan dalam pelatihan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) 165, tidak mesti berkaitan langsung dengan agama. Kecerdasan spiritual itu dipandang sebagai potensi yang secara universal dimiliki oleh setiap manusia.

Dalam ESQ Model, yang bersumber pada konsep Satu Ihsan, Enam Rukun Iman, dan Lima Rukun Islam (165), potensi kecerdasan spiritual itu diyakini sebagai pantulan sifat-sifat unggul yang terpancar dari Nama-Nama Allah SWT (Asmaul Husna). Potensi itu terpantul melalui ruh yang ditiupkan pada setiap manusia. Tugas manusialah untuk mengasahnya agar teraktualisasi menjadi
energi. ESQ Model adalah sebuah ikhtiar untuk menguraikan dan mengasah potensi-potensi itu, dengan mengidentifikasi tujuh dari 99 Asmaul Husna. Ketujuh potensi atau suara hati, yang kami sebut Tujuh Budi Utama (Jujur, Tanggungjawab, Visioner, Disiplin, Kerjasama, Adil, dan Peduli) itu menjadi pijakan awal untuk mengenali jati diri; betapa manusia sesungguhnya memiliki potensi yang kaya.

Simaklah bagaimana
kisah Infosys Technologies yang dibangun Narayana Murthy bersama enam rekannya, dari modal uang tabungan 10.000 rupee (US$ 250) pada 1981 menjadi imperium bisnis berpendapatan US$ 3 miliar (2007). Ini tidak akan terjadi andai pada musim dingin 1990 mereka takluk dalam suramnya iklim bisnis, lalu puas dengan tawaran pembeli sebesar US$ 1 juta. Murthy berhasil meyakinkan rekan-rekannya bahwa bisnis mereka bernilai lebih dari sekadar uang. Sikap saling percaya dan kerjasama yang mereka bangun dalam satu visi yang sangat kuat adalah bentuk aktualisasi diri dan ajang untuk menghasilkan karya yang tidak hanya untuk dinikmati sendiri, tapi juga oleh sesama. Itu sebabnya, Murthy dan kawan-kawan peduli pada kepentingan 75.000 karyawan, memberi mereka hak membeli saham (stock option).

Kerja keras Lee Byung-chul dalam membesarkan gurita bisnis Samsung Group pun mengajarkan tentang kemenangan suara hati. Lee, yang wafat pada 19 November 1987, tidak semata-mata mewariskan perusahaan raksasa global di bidang elektronik dan semikonduktor, melainkan juga (yang lebih penting) kultur korporat yang tahan segala cuaca. Menurut Presiden dan CEO Samsung Electronics, Dr. Hwang Chang-gyu, Lee mewariskan filosofi yang menekankan inovasi sebagai nyawa perusahaan. Ketika satu tujuan tercapai, itu berarti awal menetapkan tujuan baru. Orang-orang Samsung diibaratkannya seperti kaum nomad, yang terus mengembara mencari temuan-temuan baru. Semua itu membutuhkan visi yang kuat, pengabdian (tanggungjawab) pada misi, kedisiplinan, kerapihan kerjasama, dan seterusnya.


Imperium otomotif legendaris Jepang, Honda, tumbuh dengan filosofi Soichiro Honda, seorang pebisnis yang merangkak dari bawah, melalui badai demi badai kegagalan. Menghormati Individu dan Tiga Kebahagiaan, demikian rumusan filosofi yang diuraikan dalam misi dan visi korporat Honda Motor Company. Menghormati Individu berarti yakin akan kemampuan unik manusia, dan menentukan hubungan perusahaan dengan rekanan, pelanggan, penyalur dan masyarakat. Honda meyakini bahwa setiap orang yang terlibat dalam proses pembelian, penjualan atau menciptakan produk harus menerima perasaan bahagia dari pengalaman. Tiga kebahagiaan yang dimaksud itu adalah, kebahagiaan memproduksi, kebahagiaan menjual, dan kebahagiaan membeli. Itu artinya, kebahagiaan yang diharapkan ada pada diri setiap orang Honda bukan semata-mata kebahagiaan mendapatkan sesuatu, tapi juga (dan yang terpenting) kebahagiaan memberikan sesuatu yang terbaik.


Dari situ lahir komitmen dan pengabdian yang tak bisa ditukar atau dikompromikan dengan apapun. Inilah yang dinamakan komitmen spiritual. Seseorang melakukan suatu pekerjaan tidak semata-mata karena mengharapkan imbalan (komitmen intelektual/material), karena ikatan, hubungan atau dorongan emosi tertentu (komitmen emosional), tapi dia melakukannya demi kebahagiaan mengerjakan sesuatu dan memberikan sesuatu.


Bagi kalangan bisnis, tuntutan akan komitmen semacam itu tidak hanya muncul dari kebutuhan internal. Di Barat, kini bergulir suatu kecenderungan menguatnya kesadaran konsumen. Patricia Aburdene, dalam buku Megatrends 2010: The Rise of Conscious Capitalism, mengutip laporan The New York Times bahwa sampai tahun 2000, pasar untuk values-driven commerce (perdagangan yang dikendalikan nilai), telah mencapai US$ 230 miliar. Angka itu terus tumbuh dua digit setiap tahun. Ceruk pasar yang dirujuk dalam laporan itu adalah masyarakat konsumen dengan kesadaran memilih produsen atau perusahaan yang memerhatikan tanggungjawabnya pada kepentingan stakeholder, termasuk konsumen dan lingkungan.


Majalah Fortune pada Oktober 2006 mencatat, sekitar satu dari setiap 10 dolar aset di bawah manajemen investasi di Amerika Serikat (US$ 2,3 triliun dari US$ 24 triliun) diinvestasikan ke perusahaan-perusahaan yang tinggi tingkat tanggungjawab sosialnya. Ini ditafsirkan sebagai isyarat bahwa perusahaan-perusahaan yang bertanggungjawab secara sosial akan mengungguli perusahaan yang tidak. Secara terpisah, indikasi itu telah muncul dalam edisi Maret/April 2002 majalah Business Ethics: perusahaan yang masuk daftar "100 Best Corporate Citizens" secara keseluruhan memiliki kinerja di atas perusahaan-perusahaan lain dalam daftar S&P 500.


Maka, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa, secara alamiah, mau tidak mau praktik bisnis akan selalu tergiring untuk kembali kepada nilai-nilai dasar universal, kepada suara hati manusia.


(Cuplikan buku "Spiritual Company, Kecerdasan Spiritual Pembawa Sukses Kampiun Bisnis Dunia"
oleh Ary Ginanjar Agustian)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar